KISAH MENGHARUKAN, "DIUJUNG PENANTIAN RINDU"
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Maaf sebelumnya Sahabat semua kisah kali ini panjaang sekali .. tapi bagus dan mengharukan .. insya Allah ...
-------
“Datang ke acara walimahanku, ya! Duhai cintaku, duhai cahaya di langit hatiku” Itu SMS dari Meutia, sahabatku semenjak kecil. Dia akan merengkuh sang Belahan Jiwa.
Seorang aktivis Lembaga Dakwah Kampus Universitas Syiah Kuala, Aceh. Rencananya tanggal 26 Desember esok acara akad nikah dan tanggal 29-nya ada acara perayaan hari bahagianya. Aku wajib datang katanya. Sebenarnya, meskipun dia tidak meminta, aku pasti akan pulang ke Aceh untuk berbagi bahagia dengannya.
Kubalas SMS-nya,
“Tentu, Cinta. Kebetulan aku tinggal menunggu skripsiku ditanda tangani dosen. Insya Allah, besok aku berangkat dari Bandung. Kamu minta dibawain oleh-oleh apa?”
Layar handphone komunikator-ku berkedip lagi,
“Tiada yang lebih memekarkan kuncup-kuncup bunga di taman hatiku. Cukuplah arti hadirmu menjadi kado terindah dalam menyempurna samudra bahagiaku, he-he-he.”
Aku pun tersenyum melihat balasan SMS-nya satu minggu yang lalu itu.
Sehabis salat Asar, aku mengambil tiket di agen Bus Malam yang sudah aku pesan dua hari yang lalu. Aku sekalian mampir di toko buku Cahaya Ilmu dekat dengan pertokoan buku, Palasari.
Kuambil novel The Miracle of Akhwat dari rak buku bagian fiksi islami, sebagai kado pernikahan untuk mereka berdua. Melihat judul dan sinopsis novel itu, membuka tali kenanganku dengan Meutia.
Dia lebih dulu berjilbab dan aktif sebagai ketua keputrian di Rohis SMU Al Quds, Meulaboh. Sungguh aneh cara dia mengingatkanku. Suatu hari menjelang naik kelas tiga dia memberiku secarik kertas biru langit. Tergurat sebuah puisi indah!
-Duhai Indahnya Jilbabmu-
Kedamaian nan memancar
Sorot mata keanggunan
Bumi pun menyungging senyum memandang
Membuat diri terjaga
Kebersihan hati
Ketinggian ilmu
Pesona akhlak
Engkau balut dengan Jubah Langit ...
(Sebait puisi untuk bidadari kecilku)
Cintamu: Cut Meutia-
Ada kristal-kristal bening bergulir di pipiku, bila mengingat semua itu. Dia memang sahabatku. Sahabat tidak hanya di kala senang saja, tapi ketika sang sahabat belum beroleh percikan cahaya Ilahi. Dia begitu gigih untuk berbagi. Berbagi nikmatnya ridha Ilahi.
Kutepis sepenggal kisah tentang jilbabku. Aku menghampiri kasir dan mengeluarkan uang lima puluh ribuan dari dompet.
“Ini kembaliannya, Mbak.” kata sang kasir.
Kulirik name-tag di baju seragamnya. Terukir nama Netti di sana. Dengan rekahan senyum dia menyerahkan selembar duapuluh ribuan.
“Bisa sekalian dibungkus dengan kertas kado, Mbak?” pintaku
“Oh, tentu.” dengan cekatan. Hanya sepuluh menit novel itu sudah terbungkus rapi.
“Terima kasih, Mbak Netti!” Kusunggingkan senyum bersahabat, sembari mengambil bungkusan rapi itu.
Ada rona keterkejutan di pipinya
”Sama-sama, Mbak,” balasnya sambil melemparkan senyum manis ke arahku. Mungkin dia agak terkejut juga ketika ada sesosok yang memerhatikan pegawai kecil seperti dia. Bukankah membuat orang lain bahagia dan tersenyum itu berpahala?
***
Bandung, 25 Desember 2004
Semilir angin meniup kerudung dan jilbabku. Meski cahaya hangat menyelusup di Kota Kembang siang ini, tapi pori kulitku tetap menggigil serasa ditusuk-tusuk serpihan-serpihan hujan salju. Kudekap lebih erat tubuhku ke jaket yang kukenakan.
Jam 13.30
Aku tiba di loket bus Patas Executive, KURNIA jurusan Bandung–Aceh. Di tiket yang kubawa, bus akan berangkat jam 14.00 nanti. Tadi salat Zhuhur dan Ashar sudah aku ringkas dan jamak di kos.
Handphone-ku berderit. Ada SMS yang masuk. Dari Meutia.
“Cinta. Jam berapa busnya berangkat?”
Kubetulkan kacamataku
“Insya Allah, sekitar setengah jam lagi. Bagaiman persiapanmu?”
Kuketik balasan, lalu kukirim
“Alhamdulillah, insya Allah lahir batin aku siap. Eh, Cinta! Kenapa dadaku berdebar-debar ya? :-) ”
Dasar…
“Bilang saja mau pamer he-he-he. Ya, itu sesuatu yang wajar. Kala kamu biasanya sendiri, lalu tiba-tiba di sampingmu ada seseorang yang tidak kamu kenali menghampiri dengan membawa ketulusan hati bertabur aroma cinta Ilahi. Tentu, jiwamu akan bersenandung degup hati.”
Ringtone SMS-ku berbunyi lagi….
“Dasar calon psikolog :-) Oh iya, jangan tersinggung, ya! Kapan kamu nyusul?”
Memerah kedua pipiku…
“Insya Allah, segera nyusul kok. Ada calon dari Yogya yang ingin taaruf. Doakan, ya!” kubalas lagi SMS-nya
“Tentu! Oh iya, aku tinggal dulu, ya! Lagi banyak tamu, nih. I miss u. Muah-muah-muah”
Bersamaan dengan itu, sayup-sayup panggilan untuk penumpang jurusan Aceh bergema dari kantor agen bus.
“Silakan untuk penumpang jurusan Aceh naik ke atas bus. Kita akan berangkat!!”
Bus terisi penuh.
Aku mendapat kursi nomer dua belas. Syukurlah! Teman yang di sampingku seorang cewek. Aku memang paling tidak suka duduk sebangku dengan laki-laki yang bukan mahram-ku, apalagi inikan perjalanan jauh, lebih dari sehari semalam.
Sebenarnya aku sudah meminta keponakanku untuk menemani pulang, sayangnya dia masih ada ujian akhir semester di Universita Islam Bandung. Terpaksa aku pulang sendiri kali ini.
Tadi memang sudah aku niatkan dari rumah, kalau teman sebangkunya laki-laki, aku akan minta ke Pak Sopir untuk dipindahkan ke kursi lain yang wanita.
Pegawai loket memeriksa tiket semua penumpang, sembari membagikan sekotak snack dan sebotol air mineral. Setelah tidak ada penumpang yang tertinggal, bus pun mulai merayap pelan meninggalkan keramaian kota Kembang.
Gumpalan-gumpalan arakan awan putih terlukis di bentangan langit mengiringi perjalanan lintas pulau selama dua hari tiga malam pun dimulai.
“Turun di mana, Mbak?” pertanyaan Muslimah yang duduk di kursi samping, menyadarkan dari lamunanku.
“Oh. Saya turun di Banda Aceh. Kalau Mbak?” aku balik bertanya.
“Saya turun di Pekanbaru. Oh iya, kenalkan saya Nadhifah,” Muslimah itu mengulurkan tangannya. Kusambut dengan hangat jemari lembutnya.
”Saya Sarah.”
“Nadhifah kuliah di mana?” aku balik bertanya
“Saya di Universitas Pendidikan Indonesia jurusan Kimia. Kalau kamu?”
“O. Kalau saya di Universitas Padjadjaran. Ambil Psikologi.”
Bus terus merayap melalui jalan-jalan berbukit. Kadang naik dan kadang meluncur turun menyusuri jalanan yang curam. Kota Kembang sudah jauh terlewat di belakang.
“Kok pulang sebelum liburan?” tanya dia lagi.
“Sahabat saya akan menikah, jadi saya menyempatkan pulang. Kebetulan saya sudah tidak ada materi kuliah lagi. Maksudnya tinggal menunggu skripsi saya di-acc dosen. Lha, kalau kamu?”
“Wah, kok sama ya! Kalau saya, ada Paman yang akan menikah di Bengkalis. Cuma kepulangan kali ini dipaksa oleh orangtua, jadi bolos kuliah ceritanya he-he-he.”
***
Bus berhenti sebelum masuk ke Tol Cikampek di daerah Purwakarta, untuk istirahat di RM Kuring, rumah makan khas Sunda.
Setengah jam kemudian, bus merayap lagi memasuki tol Cikampek. Langit mulai memerah kekuning-kuningan berpendar. Mentari nampak membulat samar di ufuk Barat. Lampu-lampu kota Metropolitan, Jakarta mulai berkelap-kelip.
Kota yang banyak membius kaum pinggiran untuk mengundi nasib di belantara kota yang tiada kenal belas kasihan ini. Gedung-gedung pencakar bak menantang penghuni langit dengan jumawa.
Anehnya negeri yang kaya ini. Kata Bank Dunia dan IMF, negeri ini berkembang dengan pesat ekonominya. Termasuk juga kata ‘penjilat ekonomi’ John Perkins dalam bukunya ‘Confession of an Economic Hit Man’. Tapi nyatanya gembel-gembel bak lukisan bertebaran di setiap sudut jalan. Bayi-bayi meraung-raung kelaparan di seluruh pelosok negeri.
Andai khalifah Umar ibn Khaththab dan keturunannya yang adil, yaitu Umar ibn Abdul Aziz[1] tahu, mungkin para penguasa dunia Islam sekarang akan dimaki habis-habisan oleh beliau berdua. Penguasa saat ini bukannya menjadi khadimul ummah[2] tapi malah meminta dilayani ummah bak Raja Fir’aun.
Kekuasaan bukan lagi sebagai amanah, tapi sebagai alat menjajah. Sungguh ironis! Menangislah Abu Bakar ash-Shiddiq sang dermawan, menggeram-bergemerutuk-lah gigi Sayyidina Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib ra. Dan terputuslah kelak syafaat[3] Baginda Rasulillah Saw untuk para penguasa pengkhianat ummah.[4]
Bibirku merekahkan sunggingan kecil. Lebih laiknya mencibir dunia kekuasaan sekarang. Tentu saja tingkah polahku membuat tanda tanya di benak shahabat baruku,“Kenapa Ukhti tersenyum?”
“Sungguh aneh ya, ketika kita membandingkan Kota Metropolis ini dengan kampung kita. Bayangkan, berapa triliunan galon minyak yang dikeruk di Riau. Berapa milyaran tabung gas yang dihisap PT. Arun LNG di Aceh semuanya untuk mempercantik Ibukota ini.
Aku pernah membaca di koran, kalau suku Talang Mamak,[5] nasibnya begitu menyayat hati. Begitu juga nasib anak-anak di Aceh. Daerah kita kaya tapi menderita,” aku bergumam lirih sambil telunjuk jemari mengarah ke gedung-gedung pencakar langit di sisi jalan. Sungguh ironis! Jika diperbandingkan dengan gubuk-gubuk reyot di kampung suku Talang mamak dan Suku Sakai di Riau.
“Tak usah merasa aneh, Ukh. Di tempat kami hanya orang-orang tertentu yang dekat dengan perusahaan dengan PT. Caltex saja yang makmur. Sedang yang tidak bekerja di sana nasibnya juga sama,” timpal Nadhifah.
”Nasib daerah kita sama, kita tidak bisa menjadi tuan di negeri sendiri. Negeri ini benar-benar telah tergadaikan. Negeri ini hanya taat pada korporasi internasional. Jadi wajar meski Sumber Daya Alam kita melimpah, tapi kita tetap saja terjajah. Sepertinya ‘sistem’ yang diterapkan negeri ini memang salah dan merusak,” lanjut dia dengan mengepalkan kedua tangannya.
Aku menganguk setuju dengan pendapatnya,”Ya. Korporat-korporat asing[6] itu telah mejadi ‘Tuhan’ di sini. Dengan seenaknya dia, memaksa pemerintah membuat Undang Undang dan regulasi yang menguntungkan bisnis mereka. Tidak peduli itu hak ummah, mereka memalak seperti preman jalanan.
Mulai dari emas sampai tetesan minyak mereka dengan rakus melahap dan menghisapnya. Bahkan ‘tinja’ pun dibisniskannya. Padahal, itu ‘kan wilayah umum yang tidak boleh dikuasai oleh individu. Seharusnya pendidikan, keamanan, dan jaminan kesehatan untuk rakyat wajib gratis,” aku menguatkan pendapatnya.
Deru mesin bus terus mengalun, meninggalkan Kota Metropolis yang dibangun dengan jeritan dan derita ummah itu. Bus merayap cepat masuk ke Tol Jakarta-Merak. Saat maghrib kami sudah berhenti di rumah makan di dekat pelabuhan Merak. Sholat maghrib dan ‘isya kami jamak takdim, dengan berjamaah.
Ba’da[7] ‘isya, bus memasuki kapal penyebrangan JATRA II. Aku dan Nadhifah memutuskan untuk naik ke anjungan atas kapal. Menatapi keindahan taburan gemintang di hamparan cakrawala.
Cahaya syahdu rembulan mulai memaksa menyelusup ke mayapada. Sekarang tanggal lima belas menurut kalender bulan. Separuh bagian rembulan mulai menyembul di ufuk Timur.
Sungguh indah panorama kreasi Sang Maha Indah, bersujud syukur insan mengharap berkah. Sungguh panorama memukau untuk sesiapa yang men-tafakuri[8] ayat kawliyyah[9] dan membaca ayat kawniyyah-Nya[10]. Aku teringat dengan bait syair yang disenandungkan oleh Ibn Rusdy ‘aku berpikir, maka aku ada’.
Tiba-tiba handphone-ku berdering. Meutia nelpon? Tumben. Biasanya dia cuma mengirim sms saja.
Klik
“Assalamu alaikum, Duhai rembulanku. Sudah sampai di mana sekarang?” Suara syahdu melembut dari seberang sana.
“Wa ‘alaikum salam, ini lagi melintasi Selat Sunda,” sambil kubetulkan kerudungku yang tertiup angin sepoi laut.
“Tumben. Kok nelpon?” Aku menggodanya.
“Tidak boleh, ya?” Ada nada merajuk di ujung sana.
“Bukan begitu, Cinta. Aku cuma merasa surprise saja. Eh, bagaimana panorama taman langit hatimu sekarang, Cinta?”
“Tidak bisa diungkapkan dengan barisan kata. Dadaku benar-benar bergemuruh. Jantungku berdenyut cepat,” suara di seberang sana sangat renyah, seperti rembulan di ufuk timur yang menampakkan diri malam ini.
“Banyak-banyak memohon kemudahan dan ridha-Nya, agar akadmu besok berjalan mulus.”
“Tentu, Cinta! Aku benar-benar butuh pundakmu untuk berbagi. Rasanya putik-putik bunga di taman langit hatiku memusim semi. Ah, mewanginya bunga cinta. Kuharap aku akan memetik citarasa harum atas seizin-Nya. Aku harap aku akan menciumi bunga surga-Nya. Untaikan doamu ya rembulanku, cahaya di langit hatiku,” mau tidak mau aku juga menampakkan kedua barisan gigiku mendengar syair bahagianya Meutia
“Tidak ada yang paling membahagia di langit jiwa selain menatap kedua kelopak matamu bercahaya riang. Melihat taman bunga cinta tumbuh bersemi di langit hatimu, hatiku pun berbunga doa, agar kelak keluarga SAMARA[11] yang kalian pupuk menaburkan benih-benih kebaikan.
Prajurit-prajurit kecilmu kelak akan menjadi permata zamrud di lautan dakwah, menjadi pembela-pembela Islam dengan derap nan gagah. Aku juga berharap-pinta agar kebahagiaanmu menulariku secepatnya.”
“Amin! Kamu memang sahabat terbaik-ku. Ah, aku jadi tidak enak hati, engkau jauh-jauh balik ke Bumi Rencong hanya untuk berbagi bahagia denganku,” ada nada gemuruh haru yang kutangkap.
”Sudah tentu, aku juga selalu berdoa agar kamu bisa secepatnya menyusulku. Intinya: jangan terlalu meninggikan kriteria untuk calon belahan jiwamu kelak. Sungguh, tak ada nan sempurna di dunia ini. Boleh memang kita berikhtiar mencari yang terbaik, karena itu memang wilayah yang diperbolehkan. Tapi, angan jangan terlalu dilambungkan di tingginya awan. Nanti dia tidak akan terjamah oleh tapak jemarimu. Asal dia se-fikrah[12] cukuplah itu menjadi pengukur kita,”dia melanjutkan lagi.
“Baiklah, Ustadzah,” timpalku menggodanya.
“Sudah ya! Besok pagi sehabis acara akad aku telpon lagi. Daaagh... Cinta-ku. Tetaplah menjadi rembulan teduh yang selalu menerangi bumi dengan cahaya kemilaumu. Meski banyak insan yang mencibiri dakwah yang kita semai. Wassalamu ‘alaikum,” perlahan suara di seberang sana menghilang.
“Semoga aku bisa becermin dari tiap untaian katamu. Wa ‘alaikum salam.”
Klik
Kumasukkan handphone-ku ke tas.
Nadhifah mendekatiku, “Dari temen, ya! Kok kedengarannya dia bahagia sekali.”
“Iya. Dia temanku yang akan menikah itu. Insya Allah besok prosesi akad nikahnya.”
“Baarakallah. Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah semoga berkah langit menumpah dengan melimpah,” ucap Nadhifah tulus, sambil merekahkan bibirnya.
“Amin.” Aku pun menyambuti doanya. Semoga jutaan jemari malaikat pun menengadahkannya ke langit.
Kami bersandar di pagar dek kapal sambil memandangi buih-buih putih yang saling berkejaran di bawah sana. Kerlip lampu di pelabuhan Merak mulai lenyap, tinggal birunya samudera yang membentang terpantulkan oleh sinar rembulan.
Entahlah. Tiba-tiba saja mataku berkunang-kunang. Kepalaku terasa agak memberat.
“Ukhti. Tidak tahu, nih tiba-tiba saja badanku terasa tidak enak.” Melihat mukaku yang memucat, Nadhifah menggandeng lenganku.
“Yuk, kita turun saja. Sebaiknya Ukhti istirahat.”
Kami berdua lalu turun kembali ke bus.
Ada beberapa penumpang yang tidak naik ke dek atas kapal. Nadhifah mengambil minyak kayu putih di tas dan mengoleskannya di keningku. Dia menyorongkan ujung jari telunjuknya yang sudah diolesi minyak ke lubang hidungku untuk kuhirup.
Alhamdulillah, sakitku sedikit berkurang. Kuambil selimut dan bantal dari sandaran kursi, kunaikkan foot-rest[13] kursiku lalu kuselonjorkan kaki dan kurebahkan tubuhku.
“Bagaimana, Ukh? Sudah berkurang sakitnya?” tanya Nadhifah dengan nada khawatir.
“Alhamdulillah, sudah lumayan kok. Syukron ya! Tidak tahu, biasanya aku tidak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya,” ujarku.
Aku juga heran, biasanya kalau kapal sedang menyeberang dari Merak, Banten ke Bakaheuni, Lampung ketika pulang kampung aku selalu naik ke dek atas kapal dan tidak pernah merasa sakit seperti ini. Sungguh aneh!
“Mungkin angin laut malam ini tidak bersahabat dengan Ukhti.” hiburnya.
“Ya,ya.” aku menghibur diriku sendiri.
Kuambil al-Qur’an mungilku di tas. Kubaca surat at-Takatsur sampai surat an-Nas. Sudah menjadi kebiasaanku untuk membaca surat-surat pendek sebelum memejamkan mata. Kulihat Nadhifah sedang asyik larut melihat film ‘Kingdom of Heaven’ yang diputar oleh crew bus.
***
Meutia-ku terlihat anggun.
Memakai jilbab warna krem muda dipadu kerudung putih polos, dia juga mengenakan mahkota bertahtakan berlian zamrud di atas kerudungnya. Ia kini laksana Ratu Cleopatra. Sungguh perpaduan yang serasi antara pesona paras alamiah dan warna jilbab yang dikenakannya.
Tidak ada polesan make-up di wajahnya, tidak ada lukisan tinta di kedua alisnya juga tidak ada bau wewangian dari tubuhnya. Tapi, di kamarnya telah tersedia parfum Kenzo non-alkohol yang hanya akan dia pakai ketika ‘malam merindu surga’ tiba. Parfum yang hanya dikhususkan untuk Pangeran di Langit Hatinya.
Ya. Hari ini dia ingin menjadi seorang Ratu. Meskipun hanya untuk sehari katanya, sambil bercanda.
“Bagaimana, Cinta dengan dandananku? Cocok tidak?” sambil mematut-matutkan dirinya di hadapan cermin besar di kamarnya.
“Subhanallah, cocok. Sepertinya para foto model di Jakarta dan Bandung kalah dengan penampilanmu. Geulis euy!”[14] aku mengacungkan dua jempol ke arahnya.
“Jangan berlebihan begitu dong. Nanti aku jatuhnya sakit, kalau pujianmu terlalu tinggi, he-he-he. Terima kasih ya, Cinta! Engkau berkenan hadir dan mendampingiku saat bahagiaku. Dadaku berdebar nih,” ujarnya sambil memegangi dada. Akad nikah baru akan dilangsungkan sekitar empat puluh menit lagi di masjid Raya Baiturrahman.
“Tenang saja. Mantapkan hati, putihkan niat, gumamkan doa agar akadmu nanti tiada aral dan halangan,” aku mengukuhkan jiwanya. Lalu kupeluk ia dengan erat, seolah-olah aku enggan melepaskannya.
Entahlah. Mungkin ini pelukan terakhirku sebagai sahabat ketika masih sama-sama sendiri. Esok mungkin nuansanya sudah lain, karena di sisinya telah ada sesosok yang akan mengisi hari-harinya dengan goresan tinta indah.
Di masjid Raya Baiturrahman. Prosesi akad nikah berlangsung lancar. Kuabadikan momen indah itu dari handycam yang kubawa. Ada bulir-bulir
bening yang jatuh di kedua pipi sahabatku. Itu yang kutangkap dari layar kamera. Hal-hal yang haram untuk kedua mempelai dulu, kini terhalalkan sudah. Malahan, tiap bersentuhan keduanya berbunga pahala dan beraroma surga.
Setelah itu, acara dilanjutkan dengan sungkeman[15] dengan suaminya tercinta, orangtua dan mertuanya. Selesai seremoni itu dia langsung menghambur kearahku. Tangis bahagianya pun pecah…
“Ba…ba…barakallahu laka wa baraka ‘alaika wa jama’a bainakuma fii khair[16]. Selamat melabuh dan merayakan cinta! Duhai sahabatku.” Tak terasa aku pun terlarut dalam tangis bahagianya. Penghuni-penghuni kolong langit pun bergemuruh menguntaikan Amin… menyambut pintaku.
“Jazakillah khairan,[17] sampai kapan pun engkau tetap menjadi permata indah yang berkilau di sudut hatiku. Meski kini statusku sudah menjadi Nyonya,” suaranya tercekat.
“Ya,ya,ya. Engkau juga tetap rembulan teduhku. Biarlah bentangan langit menjadi saksi, biarlah desau angin mengabari.”
Kuhapus guliran airmata bahagia yang bergulir di pipi putihnya dengan sehelai tisu.
“Oh-iya. Ini ada sebuah bingkisan cinta, khusus untukmu. Jauh-jauh kubawa dari Bandung. Bila engkau rindu, bukalah isinya. Aku akan ada di hadapanmu saat itu juga.”
Kuambil kado yang sudah aku persiapkan dan kubawa dari Bandung. Tapi, entah kenapa, tiba-tiba tanganku gemetaran. Hingga kado itu meluncur jatuh ke lantai.
Refleks tanganku mencoba menggapai …
Tapi luput..
“Ukhti!!” panggilan Nadhifah dari samping menyadarkanku dari alam mimpi.
Wajahku merona merah.
“Kita sudah sampai mana?” Aku mencoba mengalihkan perhatiannya dari tanganku yang menggapai-gapai tadi. Memang ketika badanku agak kurang enak, aku suka bermimpi yang agak aneh-aneh.
“Sudah di daerah Metro Lampung. Ukhti nampak lelap jadi ketika bus berhenti di RM. Begadang III tadi, Ukhti memang sengaja tidak ana bangunkan. Tapi, tadi ana sempat turun sebentar. Ini ana bungkusin sate padang,” sahut dia. Tadi di Merak, aku memang cuma berbuka roti donat dan air mineral. Perutku pun juga sudah mulai bernyanyi minta diisi.
“Kita makan berdua ya!”pintaku ke dia. Nadhifah menganguk, jadilah kami makan keroyokan menghabiskan sate plus lontong itu. Sungguh nikmatnya makan berdua dengan sahabat baruku yang sangat perhatian. Diiringi guncangan-guncangan kecil dari badan bus.
Jalan Lintas Timur memang rusak parah. Banyak lubang di sana-sini. Gara-gara truk tronton yang mengangkut gelondongan kayu hasil illegal logging[18] dari hutan di Sumatera. Ditambah lagi pejabat penimbang truk barang yang tidak amanah, sogok menyogok pun terasa lumrah. Lengkaplah sudah penderitaan jalan trans Sumatera ini.
“Syukron[19] ya! Afwan[20]kalau selalu merepotkan Ukhti,” setelah makanan tadi tandas di mulut kami.
“Biasa saja, Ukh. Eh, bagaimana sudah tidak sakit lagi, ‘kan?” dia balik bertanya.
“Alhamdulillah, sudah baikan kok.”
Suasana jalan kembali lengang. Kadang bus berpapasan dengan truk fuso sesekali sesama bus lintas Sumatera juga meramaikan badan jalan. Sinar rembulan menyelusup lewat jendela bus menerpa wajahku. Kulihat Nadhifah sudah mulai memejamkan matanya, kelihatannya dia kecapekan.
***
Palembang, 26 Desember 2004 (09.00)
Bus berhenti di RM Pagi Sore di daerah Kayuagung, Palembang.
Ketika aku dan Nadhifah melangkahkan kakiku memasuki restoran, banyak orang berkerumun di depan TV yang berlayar lebar. Tapi aku mengacuhkan itu, dan langsung pergi ke toilet wanita di bagian belakang restoran, sedang Nadhifah memesan Pop mie plus teh panas untuk kami berdua.
Ketika aku kembali dari belakang, Nadhifah menyambutku di depan pintu dan langsung menyeretku untuk ikut melihat apa yang ditonton oleh banyak orang yang berkerumun itu.
Tubuhku melemas, tenggorokanku mencekat dan deru dadaku pun mulai menyesak. Dari laporan pandangan mata sebuah stasiun televisi swasta, nampak bumi Serambi Mekkah telah porak poranda. Mayat-mayat bertebaran di mana-mana.
Masjid Raya Baiturrahahman salah satu dari sedikit bangunan yang masih tersisa. Subhanallah… Allahu Akbar ini salah satu mukjizat dan kuasa-Nya, padahal bangunan-bangunan beton di sekitar masjid telah luluh-lantak serata tanah diterjang air bah. Sungguh Allah ingin menyatakan sebuah pesan kepada banyak insan untuk menjaga rumah-Nya dengan ikhlas untuk menerapkan kembali syariah Islam yang telah memudar di bumi-Nya.
Ya. Lempengan bumi yang bergeser di laut Banda menyebabkan gempa dahsyat di tengah laut. Rekahan bumi akibat gempa yang berkisar 8,9 skala richter itu itupun menyedot semua air di laut hingga dataran pantai mengalami surut total. Ketika rekahan bumi kembali menutup, air itu lalu membal dan membalik ke daratan dengan kekuatan dahsyat.
Melabrak dan menyapu apa saja yang dilewatinya. Kecepatannya yang setara jet tempur dan setinggi pohon kelapa itu tidak memberi kesempatan manusia sedetik pun untuk berlindung.
Pagi yang akan aku kenang selama hidupku sebagai peristiwa memilukan yang membekas dalam sanubari. Torehan luka yang tidak tahu kapan bisa kuhapus dari ruang memoriku.
Duhai Allah, begitu Maha Perkasanya Engkau, hanya dalam sekejap dan dengan mudahnya bumi indah itu kini terlumat oleh ganasnya gelombang pasang.
Aku langsung jatuh terduduk di lantai. Nadhifah langsung menyangga tubuhku dan mendudukkan kepalaku di pangkuannya.
Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun[21] Kusenandungkan syair sendu yang membiru haru di langit-langit hatiku.
Kepada siapa lagi aku akan mengadu selain kepada-Nya. Manusia hanyalah setitik noktah. Mungkinkah karena banyak insan yang berselimut kesombongan di bumi-Nya saat ini? Hingga menyebabkan Allah Swt. Sang Pemilik jiwa murka.
Mungkin karena banyak insan yang telah lupa akan hukum-hukum-Nya yang mensebabkan Allah mengirim ‘teguran cinta’ agar insan kembali ke pangkuan-Nya untuk memenuhi janji qasam, sumpah setianya kala sang roh dan jasad terlahir ke dunia.
Untuk sepersekian detik jiwaku mengembara entah ke mana. Hanya terlihat kabut putih di hadapanku. Langit pun kini tak kutahu warnanya, entah biru atau jingga.
Terasa ada bau yang menyengat yang menusuk di hidungku. Ketika lamat-lamat kubuka mataku, Nadhifah masih ada di sampingku. Dengan lembut dan penuh kasih ia mengoleskan minyak kayu putih di keningku.
“Alhamdulillah, Ukhti sudah sadar. Ini diminum dulu air putihnya agar tenang,” dia menyorongkan segelas air putih di depan mulutku. Setetes air yang kuteguk serasa menutup saluran tenggorokanku. Pahit!
Pikiranku masih melayang. Bagaimana nasib Abi, Ummi dan Adekku? Apakah mereka selamat? Atau… atau… Ah, kuusir jauh-jauh pikiran buruk yang berkelebat di depanku.
Tiba-tiba…
Meutia… ya Meutiaku. Entahlah, satu bayangan anggunnya kini memaksa berkelebat di hadapanku.
Ah, bagaimana kabarmu, Duhai Cintaku? Hari ini seharusnya prosesi akad nikahmu? Kamu pun sudah berjanji untuk mengabariku ketika akad sumpah itu usai. Adakah engkau masih di alam ini atau engkau dengan tega meninggalkan aku sahabatmu di lautan penantian rindu? Jangan, jangan engkau tinggalkan aku dalam keadaan begini. Aku pasti tak kuasa lagi menahan beban rindu di hati.
Ada setitis gulir basah yang menetesi kedua pipiku. Ah, kuusir pikiran-pikiran buruk yang berkelebat di benakku.
Semoga dia selamat. Semoga aku masih bisa memeluk tubuh anggunnya. Semoga aku masih bisa berbagi canda-tawa. Semoga kami masih bisa menatap panorama senja di pantai Meulaboh yang memesonai jiwa.
***
Badanku masih sulit kugerakkan, aku memberi isyarat ke Nadhifah untuk mengambilkan handphone-ku di tas. Dengan sigap Nadhifah mengambilkan telpon seluler itu dari dalam tas.
Kupencet nomor telpon rumahku, tidak ada nada sambung sama sekali. Gemuruh hatiku semakin tidak tertahan. Kucoba menghubungi nomer handphone Abiku. Hanya nada sela dari operator yang menjawab, kalau nomer yang aku hubungi sedang di luar area. Masih kugumamkan doa agar handphone Ummi bisa menangkap panggilanku.
Nihil…
Deras kristal-kristal berguguran dari sudut mataku. Kerut keputusasaan mulai menyeruak di wajahku. Tidak kupedulikan tatapan-tatapan mata pengunjung restoran yang merasa keheranan dengan apa yang terjadi dengan diriku.
Pasrah. Hanya itu yang bisa aku lakukan saat ini. Menyerahkan sepenuhnya kepada Kuasa Ilahi.
Aku hanya sempat menyeruput sedikit pop-mie dan teh panas. Karena bus akan melanjutkan perjalanan. Nadhifah kembali memesan Sate Padang plus lontong untuk dibungkus.
Sepanjang perjalanan Palembang-Pekanbaru aku hanya membisu. Tidak ada lagi keindahan di sisi jalan yang bisa menarik perhatianku. Meski Nadhifah juga menghiburku dengan candaan-candaan segarnya. Tapi jiwaku sudah tertirai selimut hampa dan lelehan airmata yang tidak pernah kering selama perjalanan panjang ini.
Rabbi…
Kuatkan hamba…
Tabahkan hati…
Naungi keluarga dan sahabatku dengan setitis kasih-Mu
Sampai dinihari di Pangkalan Kerinci, belum juga ada titik terang nasib keluarga dan temen-temenku yang berada di Aceh.
Tiba-tiba hp-ku berdering.
Tertera dari nomer telpon rumah nenek yang di Deli Serdang.
Klik
“Assalamu’ alaikum,” intonasi suara yang kuhapal benar.
Ummiku!
“Kamu jadi pulang? Sudah sampai mana? Maaf tadi Hp Abah dan Emak lagi kehabisan baterai. Di sini sinyalnya juga lemah.”
Alhamdulillah, entah bagaimana ceritanya tiba-tiba Ummi dan Abi bisa kebetulan di Medan saat ini. Secercah cahaya hidupku kembali pulih.
“Wa ‘alaikum salam. Jadi Mi. Sarah sekarang sudah sampai di Pangkalan Kerinci. Insya Allah, siang sudah sampai Pekanbaru. Bagaimana kabar Abah dan Adek?” tanyaku dengan nada khawatir.
“Mereka juga di sini. Mungkin kalau nenekmu tidak sakit dan kami tidak menjenguk kemari, entahlah apa kami masih bisa menatap wajahmu lagi.” Ada suara yang mencekat di ujung sana.
Tidak henti-henti aku memuji kebesaran-Nya. Alhamdulillah Engkau masih memberi hamba kesempatan untuk lebih lama berbakti kepada orang tuaku. Rabbighfirli waliwalidayya… kudesah sebait doa cinta
Dari Ummi aku tahu kalau rumah kami juga ikut terhanyut, juga ruko kainnya Abi ikut terbawa arus gelombang. Syukurlah Abi masih punya bisnis perkebunan sawit yang diwariskan nenek di Deli, yang pengelolaannya diserahkan ke paman, juga kebun teh yang ada di kabupaten Kerinci di Jambi.
Satu potongan belahan jiwaku sudah kembali bercahaya.
Meutia…
Ya, tinggal satu nama itu yang terus mengusik ketenanganku. Bagaimanapun sesosok belahan jiwaku yang satu itu masih belum ada kabar beritanya. Nomer hp-nya benar-benar tidak bisa kuhubungi.
Rabbi! Sinarkan kembali satu belahan jiwaku, agar cahaya jiwaku kembali memulih total.
Ah, semoga engkau baik-baik saja di sana.
***
Sampai di Pekanbaru, Ummi menyuruhku ganti memakai pesawat biar lebih cepat sampai ke rumah nenek.
Setelah mampir sebentar di rumah Nadhifah, aku langsung diantar ke Bandara Simpang Tiga. Aku ingin cepat-cepat kembali ke pangkuan Abi dan Ummiku, memeluk erat dan menumpahkan kerinduanku. Hanya itu keinginan terkuatku kini. Dengan terpaksa kupatuhi perintah Ummi, meski sebenarnya aku tidak begitu suka dengan naik pesawat terbang.
Aku banyak mengucapkan terima kasih ke Nadhifah, sahabat dalam perjalanan panjangku itu, atas semua perhatiannya. Aku juga berjanji akan main ke kosnya setelah pulang ke Bandung kelak.
Burung besi pun terbang meninggi di birunya langit, menyelinap di antara gumpalan-gumpalan awan. Langit mulai mendung, semendung suasana hatiku yang masih belum menerima kabar dari Meutia, Cintaku.
Sekitar empat puluh menit mengawang di angkasa, pesawat yang kutumpangi kemudian mendarat di bandara Polonia, Medan. Abi dan Ummiku yang langsung menjemput. Lalu kami pun kemudian melaju ke tanah Deli dengan memakai mobil Paman.
***
Dua minggu setelah badai tsunami menghantam, kesehatan nenek kembali pulih. Aku, Abi dan Ummi kembali ke Aceh. Sedang adik dititipkan di rumah nenek.
Aduhai… bumi megah dan indah itu kini benar-benar tinggal puing-puing berserakan. Termasuk rumahku kini hanya tinggal tumpukan dinding-dinding beton yang saling bertindihan.
Meski dua minggu setelah peristiwa tsunami berlalu, masih banyak mayat yang berserakan di pinggir jalan. Relawan yang datang berduyun-duyun baik dari mancanegara maupun dari negeri sendiri ternyata benar-benar kewalahan untuk menanganinya.
Aku bergegas ke Meulaboh. Ke rumah Meutia. Rumahnya memang hanya berjarak satu kilometer dari bibir pantai. Tidak ada yang tersisa, semua rata dengan tanah. Lagi-lagi mukjizat-Nya menampakkan diri, ada beberapa masjid yang berdiri kokoh tidak tersentuh sedikit pun dengan gelombang dahsyat itu.
Allahu Akbar… kembali kudapati keMahabesaran Ilahi.
Tidak ada jejak rembulan teduhku itu. Mendung mulai menyapa langit hatiku. Hembusan angin sepoi pantai pun memecahkan gumpalan mendung yang menebal hitam itu. Dan gerimis di pelupuk mataku mulai bergulir deras.
“Sampai kapanpun engkau tetap menjadi permata indah yang berkilau di sudut hatiku.”
Masih terngiang dengan jelas untaian kata-kata Meutia di dalam mimpiku dua minggu lalu. Dan gerimis itu sekarang telah menjadi hujan badai dalam jiwaku.
Duhai bidadari… duhai rembulan teduhku…
Tegakah engkau meninggalkanku di ujung penantian rindu?
Tak bisakah engkau menghampiriku dan menghapus kristal-kristal bening yang menggulir ini?
Tak bisakah engkau bertutur indah tentang prosesi akad nikahmu? Tak bisakah kukecup kedua pipimu nan melembut?
Tak inginkah engkau menyentuh kedua lesung pipiku yang sering kaukagumi itu?
Senja telah menyapa di pantai Meulaboh. Warna merah kekuning-kuningan di ufuk barat terlukis di bentangan cakrawala. Tidak ada warna keindahan di lukisan alam itu. Padahal, dulu semasa masih di SMU, aku dan Meutia bisa berjam-jam menatapi keindahan panorama senja. Menatapi mentari yang mulai bersembunyi sedikit demi sedikit di ujung horison sambil diselingi tukar-menukar puisi-puisi hati dan bertukar pengalaman hikmah yang terpetik hari ini.
Kualihkan pandanganku dari pemandangan senja, yang hanya mengingatkanku kepada sahabatku tercinta. Biarlah dia tetap indah di ujung sana meski di sini hatiku dirundung nestapa.
Abi menghampiri dan menggandengku. Kutatap lagi reruntuhan rumah Meutia. Aku berjanji akan kembali lagi. Sampai sang Rembulan teduh itu menampakkan diri.
Ya. Itulah janji hatiku.
***
Di tenda posko ‘Nisa’ TMU[22] Aceh, di dekat dengan Masjid Raya Baiturrahman, tidak kusangka aku berjumpa dengan Teuku Rafli temen satu SMU dulu, dia yang menjabat sebagai ketua Rohis SMU al Quds. Dan yang lebih mengejutkan lagi ternyata dialah sebenarnya suami Meutia.
Duhai rahasia apalagi yang engkau sembunyikan dariku, Cinta!
“Sungguh teganya engkau, Duhai rembulanku. Begitu rapi engkau menyimpan sejuta kisahmu,” ujarku sambil menutupi kedua wajahku yang sembab.
Ah, nampaknya hujan badai akan datang lagi. Bahkan, mungkin lebih dahsyat lagi, karena awan gelap telah mulai tampak di langit hatiku.
“Ukhti… setelah prosesi akad nikah kami senandungkan, gelombang dahsyat itu datang menghampiri kami. Dia sempat mencium tanganku dan ayah-ibunya juga ayah-ibuku,” Rafli berhenti sejenak, mencoba menguatkan hatinya untuk bisa terus bertutur.
“Sebenarnya, ana sempat memegang tangannya, tapi derasnya arus menghantamkanku ke pohon dan pegangan kami pun terlepas.”
Aku memegang erat tangan Abi. Menguatkan hatiku yang mulai retak dan hancur luluh berkeping-keping.
“Satu hal yang harus Ukhti ketahui. Meutia memang sengaja merahasiakan namaku sebagai calon suaminya ke Ukhti. Bukan maksud apa-apa, dia ingin memberi kejutan indah untukmu. Tapi qadha-Nya[23] berkata lain. Afwan,[24]sebenarnya ana kurang setuju dengan idenya ini.
Tapi ia bersikeras untuk menyimpan rahasia ini sampai Ukhti datang di acara syukuran walimahan kami. Sungguh…dia tidak bermaksud lain. Sebenarnya ana ingin acara akad dan syukurannya sewaktu, tapi karena ia ingin Ukhti bisa hadir di hari bahagia kami, karena itu dia meminta acara syukurannya ditunda sampai Ukhti selesai memasukkan skripsi Ukhti ke dosen,” Ada tetes bening bergulir di wajahnya.
***
Kukabarkan berita hilang dan belum ditemukannya tubuh Meutia ke Nadhifah yang sudah pulang ke Bandung duluan.
“Ukhti. Andai aku boleh memilih.. andai putaran waktu masih bisa diputar ulang. Ingin rasanya aku tidak pulang ke Aceh, tapi aku akan meminta pulang dilain waktu, di mana aku masih bisa bertemu dengan shahabat tercintaku. Daripada aku pulang kini, tapi hanya sepenggal kisah sendu tentang rembulan teduhku yang harus kuteguk.
Betapa mendung dan meredupnya hatiku saat ini. Andai engkau tahu… andai engkau di sini. Sekarang gerimis itu selalu bergulir meluruh dari langit hatiku.”
Balasan sms dari Nadhifah berderit
“Sahabat…semoga engkau bisa bercermin dari ayat ini: apabila ajal itu sudah datang, tidak dapat mereka (berusaha) mengundurkan atau memajukannya walaupun sesaat.[25] Semoga engkau tabah dan menerima qadha-Nya. Sesungguhnya, ini adalah badai, badai yang telah termaktub dalam Alam Malakut-Nya[26]. “Bencana yang terjadi di bumi atau atas dirimu sendiri telah tertulis di dalam Kitab sebelum Kami melaksanakannya. Sesungguhnya hal demikian itu mudah bagi Allah.[27] Sungguh! ini adalah ujian keimanan untukmu duhai sahabatku.
Semoga engkau bisa mulus melaluinya. Andai aku ada di sana… ingin kuhapus gerimis itu dengan hembusan anginku, agar menyapu mendung dan meluruhkan gerimismu. Akan kusinari lagi langit hatimu dengan kemilau cahaya mentariku agar langitmu kembali mencerah! Salam sayang!”
Hari ini aku kembali lagi ke pantai Meulaboh.
Reruntuhan rumah Meutia terlihat dari pinggir jalan yang kulalui. Besok aku harus kembali ke Bandung, karena satu minggu lagi aku akan sidang skripsi.
Kuambil kado mungil dari dalam tas.
Kuberjalan di bibir pantai yang membentang. Kulihat lagi tulisan tangan yang kuukir di atas kertas mungil biru langit. Itu warna kesukaan kami berdua.
-Untuk Sepasang Cinta yang Berbahagia-
Kala akad telah terucap
Ada harap nan diucap
Harapkan berkah Allah tercurah murah
Cinta suci dibuhul satu ikat
Ikatan suci mitsaqan ghaliza[28] sebagai perekat
Agar Allah menghamburkan berkat
Agar Allah menaburkan rahmat[29]
Kutatap kakilangit di ujung laut sana.
Kulangkahkan kakiku hingga menyentuh birunya air laut yang berbuih dihempas oleh riak-riak gelombang kecil, hingga sepatu dan kaos kakiku pun terbasahi.
Sambil kupandangi kembali gambarku dan Meutia yang sedang berpelukan mesra dan memamerkan senyuman termanis kami di profile Handphone-komunikator-ku. Gambar yang dilatari cahayawi jingga itu terrambil sebelum keberangkatanku kuliah ke Bandung dulu.
Cintaku…
Dengarlah gemuruh hatiku
Dengarlah senandung lara jiwaku
Ada segenggam rindu nan bergelayut
Ada asa nan membuncah tercacah
Ada sekeping hati teretak gelombang patah
Rekahkan senyum-mu diujung nanti
Agar rindu ini terobati
Agar pedih tertutupi
Kuletakkan kado itu di permukaan air laut yang berkecipak.
Satu embusan gelombang datang menghampirinya dan perlahan mulai menyeretnya ke tengah samudera. Berayun-ayun mengikuti irama riak gelombang.
Kupandangi ia hingga mengecil dan kemudian menghilang di tengah lautan. Sehilang satu asaku di pantai Meulaboh-ku ini.
Biarlah ia menghilang… biarlah ia mengembara… di lautan yang tak berujung. Seperti selaksa rindu yang memayungiku kini. Biarlah sekeping hatiku patah. Untuk sesosok rembulan teduh yang selalu bersinar melembut di sudut hatiku.
“Tetaplah menjadi rembulan teduh, yang selalu menerangi bumi dengan cahaya kemilaumu,”
Ya. Aku akan selalu di sini, mencahayai dan menerangi bumi seperti pintamu. Tapi tahukah engkau? Rembulan itu sekarang sungguh telah meretak. Kata-katamu akan selalu menjadi pelita hidup dan menjadi bara dalam melangkah dan menapakkan tapak dakwahku. Untaian katamu akan selalu kusenandungkan di penghujung malam. Agar rindu ini terbaluti dan terobati dengan rekahan senyum-mu di alam sana.
Akan kurajut dan kurangkai lagi serpihan-serpihan hati untuk menatap salam mentari di ufuk timur esok.
Selamat jalan cinta…
Semoga pelangi-Nya menyinarimu selalu
Semoga sinar teduhmu membersamaiku
Kurindukan engkau di ujung waktu....
Yogya-Mu, 30 Juli 2007 22.22
Di ujung tinta nan bergerimis, karya; Apu’ Indragiry
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Maaf sebelumnya Sahabat semua kisah kali ini panjaang sekali .. tapi bagus dan mengharukan .. insya Allah ...
-------
“Datang ke acara walimahanku, ya! Duhai cintaku, duhai cahaya di langit hatiku” Itu SMS dari Meutia, sahabatku semenjak kecil. Dia akan merengkuh sang Belahan Jiwa.
Seorang aktivis Lembaga Dakwah Kampus Universitas Syiah Kuala, Aceh. Rencananya tanggal 26 Desember esok acara akad nikah dan tanggal 29-nya ada acara perayaan hari bahagianya. Aku wajib datang katanya. Sebenarnya, meskipun dia tidak meminta, aku pasti akan pulang ke Aceh untuk berbagi bahagia dengannya.
Kubalas SMS-nya,
“Tentu, Cinta. Kebetulan aku tinggal menunggu skripsiku ditanda tangani dosen. Insya Allah, besok aku berangkat dari Bandung. Kamu minta dibawain oleh-oleh apa?”
Layar handphone komunikator-ku berkedip lagi,
“Tiada yang lebih memekarkan kuncup-kuncup bunga di taman hatiku. Cukuplah arti hadirmu menjadi kado terindah dalam menyempurna samudra bahagiaku, he-he-he.”
Aku pun tersenyum melihat balasan SMS-nya satu minggu yang lalu itu.
Sehabis salat Asar, aku mengambil tiket di agen Bus Malam yang sudah aku pesan dua hari yang lalu. Aku sekalian mampir di toko buku Cahaya Ilmu dekat dengan pertokoan buku, Palasari.
Kuambil novel The Miracle of Akhwat dari rak buku bagian fiksi islami, sebagai kado pernikahan untuk mereka berdua. Melihat judul dan sinopsis novel itu, membuka tali kenanganku dengan Meutia.
Dia lebih dulu berjilbab dan aktif sebagai ketua keputrian di Rohis SMU Al Quds, Meulaboh. Sungguh aneh cara dia mengingatkanku. Suatu hari menjelang naik kelas tiga dia memberiku secarik kertas biru langit. Tergurat sebuah puisi indah!
-Duhai Indahnya Jilbabmu-
Kedamaian nan memancar
Sorot mata keanggunan
Bumi pun menyungging senyum memandang
Membuat diri terjaga
Kebersihan hati
Ketinggian ilmu
Pesona akhlak
Engkau balut dengan Jubah Langit ...
(Sebait puisi untuk bidadari kecilku)
Cintamu: Cut Meutia-
Ada kristal-kristal bening bergulir di pipiku, bila mengingat semua itu. Dia memang sahabatku. Sahabat tidak hanya di kala senang saja, tapi ketika sang sahabat belum beroleh percikan cahaya Ilahi. Dia begitu gigih untuk berbagi. Berbagi nikmatnya ridha Ilahi.
Kutepis sepenggal kisah tentang jilbabku. Aku menghampiri kasir dan mengeluarkan uang lima puluh ribuan dari dompet.
“Ini kembaliannya, Mbak.” kata sang kasir.
Kulirik name-tag di baju seragamnya. Terukir nama Netti di sana. Dengan rekahan senyum dia menyerahkan selembar duapuluh ribuan.
“Bisa sekalian dibungkus dengan kertas kado, Mbak?” pintaku
“Oh, tentu.” dengan cekatan. Hanya sepuluh menit novel itu sudah terbungkus rapi.
“Terima kasih, Mbak Netti!” Kusunggingkan senyum bersahabat, sembari mengambil bungkusan rapi itu.
Ada rona keterkejutan di pipinya
”Sama-sama, Mbak,” balasnya sambil melemparkan senyum manis ke arahku. Mungkin dia agak terkejut juga ketika ada sesosok yang memerhatikan pegawai kecil seperti dia. Bukankah membuat orang lain bahagia dan tersenyum itu berpahala?
***
Bandung, 25 Desember 2004
Semilir angin meniup kerudung dan jilbabku. Meski cahaya hangat menyelusup di Kota Kembang siang ini, tapi pori kulitku tetap menggigil serasa ditusuk-tusuk serpihan-serpihan hujan salju. Kudekap lebih erat tubuhku ke jaket yang kukenakan.
Jam 13.30
Aku tiba di loket bus Patas Executive, KURNIA jurusan Bandung–Aceh. Di tiket yang kubawa, bus akan berangkat jam 14.00 nanti. Tadi salat Zhuhur dan Ashar sudah aku ringkas dan jamak di kos.
Handphone-ku berderit. Ada SMS yang masuk. Dari Meutia.
“Cinta. Jam berapa busnya berangkat?”
Kubetulkan kacamataku
“Insya Allah, sekitar setengah jam lagi. Bagaiman persiapanmu?”
Kuketik balasan, lalu kukirim
“Alhamdulillah, insya Allah lahir batin aku siap. Eh, Cinta! Kenapa dadaku berdebar-debar ya? :-) ”
Dasar…
“Bilang saja mau pamer he-he-he. Ya, itu sesuatu yang wajar. Kala kamu biasanya sendiri, lalu tiba-tiba di sampingmu ada seseorang yang tidak kamu kenali menghampiri dengan membawa ketulusan hati bertabur aroma cinta Ilahi. Tentu, jiwamu akan bersenandung degup hati.”
Ringtone SMS-ku berbunyi lagi….
“Dasar calon psikolog :-) Oh iya, jangan tersinggung, ya! Kapan kamu nyusul?”
Memerah kedua pipiku…
“Insya Allah, segera nyusul kok. Ada calon dari Yogya yang ingin taaruf. Doakan, ya!” kubalas lagi SMS-nya
“Tentu! Oh iya, aku tinggal dulu, ya! Lagi banyak tamu, nih. I miss u. Muah-muah-muah”
Bersamaan dengan itu, sayup-sayup panggilan untuk penumpang jurusan Aceh bergema dari kantor agen bus.
“Silakan untuk penumpang jurusan Aceh naik ke atas bus. Kita akan berangkat!!”
Bus terisi penuh.
Aku mendapat kursi nomer dua belas. Syukurlah! Teman yang di sampingku seorang cewek. Aku memang paling tidak suka duduk sebangku dengan laki-laki yang bukan mahram-ku, apalagi inikan perjalanan jauh, lebih dari sehari semalam.
Sebenarnya aku sudah meminta keponakanku untuk menemani pulang, sayangnya dia masih ada ujian akhir semester di Universita Islam Bandung. Terpaksa aku pulang sendiri kali ini.
Tadi memang sudah aku niatkan dari rumah, kalau teman sebangkunya laki-laki, aku akan minta ke Pak Sopir untuk dipindahkan ke kursi lain yang wanita.
Pegawai loket memeriksa tiket semua penumpang, sembari membagikan sekotak snack dan sebotol air mineral. Setelah tidak ada penumpang yang tertinggal, bus pun mulai merayap pelan meninggalkan keramaian kota Kembang.
Gumpalan-gumpalan arakan awan putih terlukis di bentangan langit mengiringi perjalanan lintas pulau selama dua hari tiga malam pun dimulai.
“Turun di mana, Mbak?” pertanyaan Muslimah yang duduk di kursi samping, menyadarkan dari lamunanku.
“Oh. Saya turun di Banda Aceh. Kalau Mbak?” aku balik bertanya.
“Saya turun di Pekanbaru. Oh iya, kenalkan saya Nadhifah,” Muslimah itu mengulurkan tangannya. Kusambut dengan hangat jemari lembutnya.
”Saya Sarah.”
“Nadhifah kuliah di mana?” aku balik bertanya
“Saya di Universitas Pendidikan Indonesia jurusan Kimia. Kalau kamu?”
“O. Kalau saya di Universitas Padjadjaran. Ambil Psikologi.”
Bus terus merayap melalui jalan-jalan berbukit. Kadang naik dan kadang meluncur turun menyusuri jalanan yang curam. Kota Kembang sudah jauh terlewat di belakang.
“Kok pulang sebelum liburan?” tanya dia lagi.
“Sahabat saya akan menikah, jadi saya menyempatkan pulang. Kebetulan saya sudah tidak ada materi kuliah lagi. Maksudnya tinggal menunggu skripsi saya di-acc dosen. Lha, kalau kamu?”
“Wah, kok sama ya! Kalau saya, ada Paman yang akan menikah di Bengkalis. Cuma kepulangan kali ini dipaksa oleh orangtua, jadi bolos kuliah ceritanya he-he-he.”
***
Bus berhenti sebelum masuk ke Tol Cikampek di daerah Purwakarta, untuk istirahat di RM Kuring, rumah makan khas Sunda.
Setengah jam kemudian, bus merayap lagi memasuki tol Cikampek. Langit mulai memerah kekuning-kuningan berpendar. Mentari nampak membulat samar di ufuk Barat. Lampu-lampu kota Metropolitan, Jakarta mulai berkelap-kelip.
Kota yang banyak membius kaum pinggiran untuk mengundi nasib di belantara kota yang tiada kenal belas kasihan ini. Gedung-gedung pencakar bak menantang penghuni langit dengan jumawa.
Anehnya negeri yang kaya ini. Kata Bank Dunia dan IMF, negeri ini berkembang dengan pesat ekonominya. Termasuk juga kata ‘penjilat ekonomi’ John Perkins dalam bukunya ‘Confession of an Economic Hit Man’. Tapi nyatanya gembel-gembel bak lukisan bertebaran di setiap sudut jalan. Bayi-bayi meraung-raung kelaparan di seluruh pelosok negeri.
Andai khalifah Umar ibn Khaththab dan keturunannya yang adil, yaitu Umar ibn Abdul Aziz[1] tahu, mungkin para penguasa dunia Islam sekarang akan dimaki habis-habisan oleh beliau berdua. Penguasa saat ini bukannya menjadi khadimul ummah[2] tapi malah meminta dilayani ummah bak Raja Fir’aun.
Kekuasaan bukan lagi sebagai amanah, tapi sebagai alat menjajah. Sungguh ironis! Menangislah Abu Bakar ash-Shiddiq sang dermawan, menggeram-bergemerutuk-lah gigi Sayyidina Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib ra. Dan terputuslah kelak syafaat[3] Baginda Rasulillah Saw untuk para penguasa pengkhianat ummah.[4]
Bibirku merekahkan sunggingan kecil. Lebih laiknya mencibir dunia kekuasaan sekarang. Tentu saja tingkah polahku membuat tanda tanya di benak shahabat baruku,“Kenapa Ukhti tersenyum?”
“Sungguh aneh ya, ketika kita membandingkan Kota Metropolis ini dengan kampung kita. Bayangkan, berapa triliunan galon minyak yang dikeruk di Riau. Berapa milyaran tabung gas yang dihisap PT. Arun LNG di Aceh semuanya untuk mempercantik Ibukota ini.
Aku pernah membaca di koran, kalau suku Talang Mamak,[5] nasibnya begitu menyayat hati. Begitu juga nasib anak-anak di Aceh. Daerah kita kaya tapi menderita,” aku bergumam lirih sambil telunjuk jemari mengarah ke gedung-gedung pencakar langit di sisi jalan. Sungguh ironis! Jika diperbandingkan dengan gubuk-gubuk reyot di kampung suku Talang mamak dan Suku Sakai di Riau.
“Tak usah merasa aneh, Ukh. Di tempat kami hanya orang-orang tertentu yang dekat dengan perusahaan dengan PT. Caltex saja yang makmur. Sedang yang tidak bekerja di sana nasibnya juga sama,” timpal Nadhifah.
”Nasib daerah kita sama, kita tidak bisa menjadi tuan di negeri sendiri. Negeri ini benar-benar telah tergadaikan. Negeri ini hanya taat pada korporasi internasional. Jadi wajar meski Sumber Daya Alam kita melimpah, tapi kita tetap saja terjajah. Sepertinya ‘sistem’ yang diterapkan negeri ini memang salah dan merusak,” lanjut dia dengan mengepalkan kedua tangannya.
Aku menganguk setuju dengan pendapatnya,”Ya. Korporat-korporat asing[6] itu telah mejadi ‘Tuhan’ di sini. Dengan seenaknya dia, memaksa pemerintah membuat Undang Undang dan regulasi yang menguntungkan bisnis mereka. Tidak peduli itu hak ummah, mereka memalak seperti preman jalanan.
Mulai dari emas sampai tetesan minyak mereka dengan rakus melahap dan menghisapnya. Bahkan ‘tinja’ pun dibisniskannya. Padahal, itu ‘kan wilayah umum yang tidak boleh dikuasai oleh individu. Seharusnya pendidikan, keamanan, dan jaminan kesehatan untuk rakyat wajib gratis,” aku menguatkan pendapatnya.
Deru mesin bus terus mengalun, meninggalkan Kota Metropolis yang dibangun dengan jeritan dan derita ummah itu. Bus merayap cepat masuk ke Tol Jakarta-Merak. Saat maghrib kami sudah berhenti di rumah makan di dekat pelabuhan Merak. Sholat maghrib dan ‘isya kami jamak takdim, dengan berjamaah.
Ba’da[7] ‘isya, bus memasuki kapal penyebrangan JATRA II. Aku dan Nadhifah memutuskan untuk naik ke anjungan atas kapal. Menatapi keindahan taburan gemintang di hamparan cakrawala.
Cahaya syahdu rembulan mulai memaksa menyelusup ke mayapada. Sekarang tanggal lima belas menurut kalender bulan. Separuh bagian rembulan mulai menyembul di ufuk Timur.
Sungguh indah panorama kreasi Sang Maha Indah, bersujud syukur insan mengharap berkah. Sungguh panorama memukau untuk sesiapa yang men-tafakuri[8] ayat kawliyyah[9] dan membaca ayat kawniyyah-Nya[10]. Aku teringat dengan bait syair yang disenandungkan oleh Ibn Rusdy ‘aku berpikir, maka aku ada’.
Tiba-tiba handphone-ku berdering. Meutia nelpon? Tumben. Biasanya dia cuma mengirim sms saja.
Klik
“Assalamu alaikum, Duhai rembulanku. Sudah sampai di mana sekarang?” Suara syahdu melembut dari seberang sana.
“Wa ‘alaikum salam, ini lagi melintasi Selat Sunda,” sambil kubetulkan kerudungku yang tertiup angin sepoi laut.
“Tumben. Kok nelpon?” Aku menggodanya.
“Tidak boleh, ya?” Ada nada merajuk di ujung sana.
“Bukan begitu, Cinta. Aku cuma merasa surprise saja. Eh, bagaimana panorama taman langit hatimu sekarang, Cinta?”
“Tidak bisa diungkapkan dengan barisan kata. Dadaku benar-benar bergemuruh. Jantungku berdenyut cepat,” suara di seberang sana sangat renyah, seperti rembulan di ufuk timur yang menampakkan diri malam ini.
“Banyak-banyak memohon kemudahan dan ridha-Nya, agar akadmu besok berjalan mulus.”
“Tentu, Cinta! Aku benar-benar butuh pundakmu untuk berbagi. Rasanya putik-putik bunga di taman langit hatiku memusim semi. Ah, mewanginya bunga cinta. Kuharap aku akan memetik citarasa harum atas seizin-Nya. Aku harap aku akan menciumi bunga surga-Nya. Untaikan doamu ya rembulanku, cahaya di langit hatiku,” mau tidak mau aku juga menampakkan kedua barisan gigiku mendengar syair bahagianya Meutia
“Tidak ada yang paling membahagia di langit jiwa selain menatap kedua kelopak matamu bercahaya riang. Melihat taman bunga cinta tumbuh bersemi di langit hatimu, hatiku pun berbunga doa, agar kelak keluarga SAMARA[11] yang kalian pupuk menaburkan benih-benih kebaikan.
Prajurit-prajurit kecilmu kelak akan menjadi permata zamrud di lautan dakwah, menjadi pembela-pembela Islam dengan derap nan gagah. Aku juga berharap-pinta agar kebahagiaanmu menulariku secepatnya.”
“Amin! Kamu memang sahabat terbaik-ku. Ah, aku jadi tidak enak hati, engkau jauh-jauh balik ke Bumi Rencong hanya untuk berbagi bahagia denganku,” ada nada gemuruh haru yang kutangkap.
”Sudah tentu, aku juga selalu berdoa agar kamu bisa secepatnya menyusulku. Intinya: jangan terlalu meninggikan kriteria untuk calon belahan jiwamu kelak. Sungguh, tak ada nan sempurna di dunia ini. Boleh memang kita berikhtiar mencari yang terbaik, karena itu memang wilayah yang diperbolehkan. Tapi, angan jangan terlalu dilambungkan di tingginya awan. Nanti dia tidak akan terjamah oleh tapak jemarimu. Asal dia se-fikrah[12] cukuplah itu menjadi pengukur kita,”dia melanjutkan lagi.
“Baiklah, Ustadzah,” timpalku menggodanya.
“Sudah ya! Besok pagi sehabis acara akad aku telpon lagi. Daaagh... Cinta-ku. Tetaplah menjadi rembulan teduh yang selalu menerangi bumi dengan cahaya kemilaumu. Meski banyak insan yang mencibiri dakwah yang kita semai. Wassalamu ‘alaikum,” perlahan suara di seberang sana menghilang.
“Semoga aku bisa becermin dari tiap untaian katamu. Wa ‘alaikum salam.”
Klik
Kumasukkan handphone-ku ke tas.
Nadhifah mendekatiku, “Dari temen, ya! Kok kedengarannya dia bahagia sekali.”
“Iya. Dia temanku yang akan menikah itu. Insya Allah besok prosesi akad nikahnya.”
“Baarakallah. Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah semoga berkah langit menumpah dengan melimpah,” ucap Nadhifah tulus, sambil merekahkan bibirnya.
“Amin.” Aku pun menyambuti doanya. Semoga jutaan jemari malaikat pun menengadahkannya ke langit.
Kami bersandar di pagar dek kapal sambil memandangi buih-buih putih yang saling berkejaran di bawah sana. Kerlip lampu di pelabuhan Merak mulai lenyap, tinggal birunya samudera yang membentang terpantulkan oleh sinar rembulan.
Entahlah. Tiba-tiba saja mataku berkunang-kunang. Kepalaku terasa agak memberat.
“Ukhti. Tidak tahu, nih tiba-tiba saja badanku terasa tidak enak.” Melihat mukaku yang memucat, Nadhifah menggandeng lenganku.
“Yuk, kita turun saja. Sebaiknya Ukhti istirahat.”
Kami berdua lalu turun kembali ke bus.
Ada beberapa penumpang yang tidak naik ke dek atas kapal. Nadhifah mengambil minyak kayu putih di tas dan mengoleskannya di keningku. Dia menyorongkan ujung jari telunjuknya yang sudah diolesi minyak ke lubang hidungku untuk kuhirup.
Alhamdulillah, sakitku sedikit berkurang. Kuambil selimut dan bantal dari sandaran kursi, kunaikkan foot-rest[13] kursiku lalu kuselonjorkan kaki dan kurebahkan tubuhku.
“Bagaimana, Ukh? Sudah berkurang sakitnya?” tanya Nadhifah dengan nada khawatir.
“Alhamdulillah, sudah lumayan kok. Syukron ya! Tidak tahu, biasanya aku tidak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya,” ujarku.
Aku juga heran, biasanya kalau kapal sedang menyeberang dari Merak, Banten ke Bakaheuni, Lampung ketika pulang kampung aku selalu naik ke dek atas kapal dan tidak pernah merasa sakit seperti ini. Sungguh aneh!
“Mungkin angin laut malam ini tidak bersahabat dengan Ukhti.” hiburnya.
“Ya,ya.” aku menghibur diriku sendiri.
Kuambil al-Qur’an mungilku di tas. Kubaca surat at-Takatsur sampai surat an-Nas. Sudah menjadi kebiasaanku untuk membaca surat-surat pendek sebelum memejamkan mata. Kulihat Nadhifah sedang asyik larut melihat film ‘Kingdom of Heaven’ yang diputar oleh crew bus.
***
Meutia-ku terlihat anggun.
Memakai jilbab warna krem muda dipadu kerudung putih polos, dia juga mengenakan mahkota bertahtakan berlian zamrud di atas kerudungnya. Ia kini laksana Ratu Cleopatra. Sungguh perpaduan yang serasi antara pesona paras alamiah dan warna jilbab yang dikenakannya.
Tidak ada polesan make-up di wajahnya, tidak ada lukisan tinta di kedua alisnya juga tidak ada bau wewangian dari tubuhnya. Tapi, di kamarnya telah tersedia parfum Kenzo non-alkohol yang hanya akan dia pakai ketika ‘malam merindu surga’ tiba. Parfum yang hanya dikhususkan untuk Pangeran di Langit Hatinya.
Ya. Hari ini dia ingin menjadi seorang Ratu. Meskipun hanya untuk sehari katanya, sambil bercanda.
“Bagaimana, Cinta dengan dandananku? Cocok tidak?” sambil mematut-matutkan dirinya di hadapan cermin besar di kamarnya.
“Subhanallah, cocok. Sepertinya para foto model di Jakarta dan Bandung kalah dengan penampilanmu. Geulis euy!”[14] aku mengacungkan dua jempol ke arahnya.
“Jangan berlebihan begitu dong. Nanti aku jatuhnya sakit, kalau pujianmu terlalu tinggi, he-he-he. Terima kasih ya, Cinta! Engkau berkenan hadir dan mendampingiku saat bahagiaku. Dadaku berdebar nih,” ujarnya sambil memegangi dada. Akad nikah baru akan dilangsungkan sekitar empat puluh menit lagi di masjid Raya Baiturrahman.
“Tenang saja. Mantapkan hati, putihkan niat, gumamkan doa agar akadmu nanti tiada aral dan halangan,” aku mengukuhkan jiwanya. Lalu kupeluk ia dengan erat, seolah-olah aku enggan melepaskannya.
Entahlah. Mungkin ini pelukan terakhirku sebagai sahabat ketika masih sama-sama sendiri. Esok mungkin nuansanya sudah lain, karena di sisinya telah ada sesosok yang akan mengisi hari-harinya dengan goresan tinta indah.
Di masjid Raya Baiturrahman. Prosesi akad nikah berlangsung lancar. Kuabadikan momen indah itu dari handycam yang kubawa. Ada bulir-bulir
bening yang jatuh di kedua pipi sahabatku. Itu yang kutangkap dari layar kamera. Hal-hal yang haram untuk kedua mempelai dulu, kini terhalalkan sudah. Malahan, tiap bersentuhan keduanya berbunga pahala dan beraroma surga.
Setelah itu, acara dilanjutkan dengan sungkeman[15] dengan suaminya tercinta, orangtua dan mertuanya. Selesai seremoni itu dia langsung menghambur kearahku. Tangis bahagianya pun pecah…
“Ba…ba…barakallahu laka wa baraka ‘alaika wa jama’a bainakuma fii khair[16]. Selamat melabuh dan merayakan cinta! Duhai sahabatku.” Tak terasa aku pun terlarut dalam tangis bahagianya. Penghuni-penghuni kolong langit pun bergemuruh menguntaikan Amin… menyambut pintaku.
“Jazakillah khairan,[17] sampai kapan pun engkau tetap menjadi permata indah yang berkilau di sudut hatiku. Meski kini statusku sudah menjadi Nyonya,” suaranya tercekat.
“Ya,ya,ya. Engkau juga tetap rembulan teduhku. Biarlah bentangan langit menjadi saksi, biarlah desau angin mengabari.”
Kuhapus guliran airmata bahagia yang bergulir di pipi putihnya dengan sehelai tisu.
“Oh-iya. Ini ada sebuah bingkisan cinta, khusus untukmu. Jauh-jauh kubawa dari Bandung. Bila engkau rindu, bukalah isinya. Aku akan ada di hadapanmu saat itu juga.”
Kuambil kado yang sudah aku persiapkan dan kubawa dari Bandung. Tapi, entah kenapa, tiba-tiba tanganku gemetaran. Hingga kado itu meluncur jatuh ke lantai.
Refleks tanganku mencoba menggapai …
Tapi luput..
“Ukhti!!” panggilan Nadhifah dari samping menyadarkanku dari alam mimpi.
Wajahku merona merah.
“Kita sudah sampai mana?” Aku mencoba mengalihkan perhatiannya dari tanganku yang menggapai-gapai tadi. Memang ketika badanku agak kurang enak, aku suka bermimpi yang agak aneh-aneh.
“Sudah di daerah Metro Lampung. Ukhti nampak lelap jadi ketika bus berhenti di RM. Begadang III tadi, Ukhti memang sengaja tidak ana bangunkan. Tapi, tadi ana sempat turun sebentar. Ini ana bungkusin sate padang,” sahut dia. Tadi di Merak, aku memang cuma berbuka roti donat dan air mineral. Perutku pun juga sudah mulai bernyanyi minta diisi.
“Kita makan berdua ya!”pintaku ke dia. Nadhifah menganguk, jadilah kami makan keroyokan menghabiskan sate plus lontong itu. Sungguh nikmatnya makan berdua dengan sahabat baruku yang sangat perhatian. Diiringi guncangan-guncangan kecil dari badan bus.
Jalan Lintas Timur memang rusak parah. Banyak lubang di sana-sini. Gara-gara truk tronton yang mengangkut gelondongan kayu hasil illegal logging[18] dari hutan di Sumatera. Ditambah lagi pejabat penimbang truk barang yang tidak amanah, sogok menyogok pun terasa lumrah. Lengkaplah sudah penderitaan jalan trans Sumatera ini.
“Syukron[19] ya! Afwan[20]kalau selalu merepotkan Ukhti,” setelah makanan tadi tandas di mulut kami.
“Biasa saja, Ukh. Eh, bagaimana sudah tidak sakit lagi, ‘kan?” dia balik bertanya.
“Alhamdulillah, sudah baikan kok.”
Suasana jalan kembali lengang. Kadang bus berpapasan dengan truk fuso sesekali sesama bus lintas Sumatera juga meramaikan badan jalan. Sinar rembulan menyelusup lewat jendela bus menerpa wajahku. Kulihat Nadhifah sudah mulai memejamkan matanya, kelihatannya dia kecapekan.
***
Palembang, 26 Desember 2004 (09.00)
Bus berhenti di RM Pagi Sore di daerah Kayuagung, Palembang.
Ketika aku dan Nadhifah melangkahkan kakiku memasuki restoran, banyak orang berkerumun di depan TV yang berlayar lebar. Tapi aku mengacuhkan itu, dan langsung pergi ke toilet wanita di bagian belakang restoran, sedang Nadhifah memesan Pop mie plus teh panas untuk kami berdua.
Ketika aku kembali dari belakang, Nadhifah menyambutku di depan pintu dan langsung menyeretku untuk ikut melihat apa yang ditonton oleh banyak orang yang berkerumun itu.
Tubuhku melemas, tenggorokanku mencekat dan deru dadaku pun mulai menyesak. Dari laporan pandangan mata sebuah stasiun televisi swasta, nampak bumi Serambi Mekkah telah porak poranda. Mayat-mayat bertebaran di mana-mana.
Masjid Raya Baiturrahahman salah satu dari sedikit bangunan yang masih tersisa. Subhanallah… Allahu Akbar ini salah satu mukjizat dan kuasa-Nya, padahal bangunan-bangunan beton di sekitar masjid telah luluh-lantak serata tanah diterjang air bah. Sungguh Allah ingin menyatakan sebuah pesan kepada banyak insan untuk menjaga rumah-Nya dengan ikhlas untuk menerapkan kembali syariah Islam yang telah memudar di bumi-Nya.
Ya. Lempengan bumi yang bergeser di laut Banda menyebabkan gempa dahsyat di tengah laut. Rekahan bumi akibat gempa yang berkisar 8,9 skala richter itu itupun menyedot semua air di laut hingga dataran pantai mengalami surut total. Ketika rekahan bumi kembali menutup, air itu lalu membal dan membalik ke daratan dengan kekuatan dahsyat.
Melabrak dan menyapu apa saja yang dilewatinya. Kecepatannya yang setara jet tempur dan setinggi pohon kelapa itu tidak memberi kesempatan manusia sedetik pun untuk berlindung.
Pagi yang akan aku kenang selama hidupku sebagai peristiwa memilukan yang membekas dalam sanubari. Torehan luka yang tidak tahu kapan bisa kuhapus dari ruang memoriku.
Duhai Allah, begitu Maha Perkasanya Engkau, hanya dalam sekejap dan dengan mudahnya bumi indah itu kini terlumat oleh ganasnya gelombang pasang.
Aku langsung jatuh terduduk di lantai. Nadhifah langsung menyangga tubuhku dan mendudukkan kepalaku di pangkuannya.
Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun[21] Kusenandungkan syair sendu yang membiru haru di langit-langit hatiku.
Kepada siapa lagi aku akan mengadu selain kepada-Nya. Manusia hanyalah setitik noktah. Mungkinkah karena banyak insan yang berselimut kesombongan di bumi-Nya saat ini? Hingga menyebabkan Allah Swt. Sang Pemilik jiwa murka.
Mungkin karena banyak insan yang telah lupa akan hukum-hukum-Nya yang mensebabkan Allah mengirim ‘teguran cinta’ agar insan kembali ke pangkuan-Nya untuk memenuhi janji qasam, sumpah setianya kala sang roh dan jasad terlahir ke dunia.
Untuk sepersekian detik jiwaku mengembara entah ke mana. Hanya terlihat kabut putih di hadapanku. Langit pun kini tak kutahu warnanya, entah biru atau jingga.
Terasa ada bau yang menyengat yang menusuk di hidungku. Ketika lamat-lamat kubuka mataku, Nadhifah masih ada di sampingku. Dengan lembut dan penuh kasih ia mengoleskan minyak kayu putih di keningku.
“Alhamdulillah, Ukhti sudah sadar. Ini diminum dulu air putihnya agar tenang,” dia menyorongkan segelas air putih di depan mulutku. Setetes air yang kuteguk serasa menutup saluran tenggorokanku. Pahit!
Pikiranku masih melayang. Bagaimana nasib Abi, Ummi dan Adekku? Apakah mereka selamat? Atau… atau… Ah, kuusir jauh-jauh pikiran buruk yang berkelebat di depanku.
Tiba-tiba…
Meutia… ya Meutiaku. Entahlah, satu bayangan anggunnya kini memaksa berkelebat di hadapanku.
Ah, bagaimana kabarmu, Duhai Cintaku? Hari ini seharusnya prosesi akad nikahmu? Kamu pun sudah berjanji untuk mengabariku ketika akad sumpah itu usai. Adakah engkau masih di alam ini atau engkau dengan tega meninggalkan aku sahabatmu di lautan penantian rindu? Jangan, jangan engkau tinggalkan aku dalam keadaan begini. Aku pasti tak kuasa lagi menahan beban rindu di hati.
Ada setitis gulir basah yang menetesi kedua pipiku. Ah, kuusir pikiran-pikiran buruk yang berkelebat di benakku.
Semoga dia selamat. Semoga aku masih bisa memeluk tubuh anggunnya. Semoga aku masih bisa berbagi canda-tawa. Semoga kami masih bisa menatap panorama senja di pantai Meulaboh yang memesonai jiwa.
***
Badanku masih sulit kugerakkan, aku memberi isyarat ke Nadhifah untuk mengambilkan handphone-ku di tas. Dengan sigap Nadhifah mengambilkan telpon seluler itu dari dalam tas.
Kupencet nomor telpon rumahku, tidak ada nada sambung sama sekali. Gemuruh hatiku semakin tidak tertahan. Kucoba menghubungi nomer handphone Abiku. Hanya nada sela dari operator yang menjawab, kalau nomer yang aku hubungi sedang di luar area. Masih kugumamkan doa agar handphone Ummi bisa menangkap panggilanku.
Nihil…
Deras kristal-kristal berguguran dari sudut mataku. Kerut keputusasaan mulai menyeruak di wajahku. Tidak kupedulikan tatapan-tatapan mata pengunjung restoran yang merasa keheranan dengan apa yang terjadi dengan diriku.
Pasrah. Hanya itu yang bisa aku lakukan saat ini. Menyerahkan sepenuhnya kepada Kuasa Ilahi.
Aku hanya sempat menyeruput sedikit pop-mie dan teh panas. Karena bus akan melanjutkan perjalanan. Nadhifah kembali memesan Sate Padang plus lontong untuk dibungkus.
Sepanjang perjalanan Palembang-Pekanbaru aku hanya membisu. Tidak ada lagi keindahan di sisi jalan yang bisa menarik perhatianku. Meski Nadhifah juga menghiburku dengan candaan-candaan segarnya. Tapi jiwaku sudah tertirai selimut hampa dan lelehan airmata yang tidak pernah kering selama perjalanan panjang ini.
Rabbi…
Kuatkan hamba…
Tabahkan hati…
Naungi keluarga dan sahabatku dengan setitis kasih-Mu
Sampai dinihari di Pangkalan Kerinci, belum juga ada titik terang nasib keluarga dan temen-temenku yang berada di Aceh.
Tiba-tiba hp-ku berdering.
Tertera dari nomer telpon rumah nenek yang di Deli Serdang.
Klik
“Assalamu’ alaikum,” intonasi suara yang kuhapal benar.
Ummiku!
“Kamu jadi pulang? Sudah sampai mana? Maaf tadi Hp Abah dan Emak lagi kehabisan baterai. Di sini sinyalnya juga lemah.”
Alhamdulillah, entah bagaimana ceritanya tiba-tiba Ummi dan Abi bisa kebetulan di Medan saat ini. Secercah cahaya hidupku kembali pulih.
“Wa ‘alaikum salam. Jadi Mi. Sarah sekarang sudah sampai di Pangkalan Kerinci. Insya Allah, siang sudah sampai Pekanbaru. Bagaimana kabar Abah dan Adek?” tanyaku dengan nada khawatir.
“Mereka juga di sini. Mungkin kalau nenekmu tidak sakit dan kami tidak menjenguk kemari, entahlah apa kami masih bisa menatap wajahmu lagi.” Ada suara yang mencekat di ujung sana.
Tidak henti-henti aku memuji kebesaran-Nya. Alhamdulillah Engkau masih memberi hamba kesempatan untuk lebih lama berbakti kepada orang tuaku. Rabbighfirli waliwalidayya… kudesah sebait doa cinta
Dari Ummi aku tahu kalau rumah kami juga ikut terhanyut, juga ruko kainnya Abi ikut terbawa arus gelombang. Syukurlah Abi masih punya bisnis perkebunan sawit yang diwariskan nenek di Deli, yang pengelolaannya diserahkan ke paman, juga kebun teh yang ada di kabupaten Kerinci di Jambi.
Satu potongan belahan jiwaku sudah kembali bercahaya.
Meutia…
Ya, tinggal satu nama itu yang terus mengusik ketenanganku. Bagaimanapun sesosok belahan jiwaku yang satu itu masih belum ada kabar beritanya. Nomer hp-nya benar-benar tidak bisa kuhubungi.
Rabbi! Sinarkan kembali satu belahan jiwaku, agar cahaya jiwaku kembali memulih total.
Ah, semoga engkau baik-baik saja di sana.
***
Sampai di Pekanbaru, Ummi menyuruhku ganti memakai pesawat biar lebih cepat sampai ke rumah nenek.
Setelah mampir sebentar di rumah Nadhifah, aku langsung diantar ke Bandara Simpang Tiga. Aku ingin cepat-cepat kembali ke pangkuan Abi dan Ummiku, memeluk erat dan menumpahkan kerinduanku. Hanya itu keinginan terkuatku kini. Dengan terpaksa kupatuhi perintah Ummi, meski sebenarnya aku tidak begitu suka dengan naik pesawat terbang.
Aku banyak mengucapkan terima kasih ke Nadhifah, sahabat dalam perjalanan panjangku itu, atas semua perhatiannya. Aku juga berjanji akan main ke kosnya setelah pulang ke Bandung kelak.
Burung besi pun terbang meninggi di birunya langit, menyelinap di antara gumpalan-gumpalan awan. Langit mulai mendung, semendung suasana hatiku yang masih belum menerima kabar dari Meutia, Cintaku.
Sekitar empat puluh menit mengawang di angkasa, pesawat yang kutumpangi kemudian mendarat di bandara Polonia, Medan. Abi dan Ummiku yang langsung menjemput. Lalu kami pun kemudian melaju ke tanah Deli dengan memakai mobil Paman.
***
Dua minggu setelah badai tsunami menghantam, kesehatan nenek kembali pulih. Aku, Abi dan Ummi kembali ke Aceh. Sedang adik dititipkan di rumah nenek.
Aduhai… bumi megah dan indah itu kini benar-benar tinggal puing-puing berserakan. Termasuk rumahku kini hanya tinggal tumpukan dinding-dinding beton yang saling bertindihan.
Meski dua minggu setelah peristiwa tsunami berlalu, masih banyak mayat yang berserakan di pinggir jalan. Relawan yang datang berduyun-duyun baik dari mancanegara maupun dari negeri sendiri ternyata benar-benar kewalahan untuk menanganinya.
Aku bergegas ke Meulaboh. Ke rumah Meutia. Rumahnya memang hanya berjarak satu kilometer dari bibir pantai. Tidak ada yang tersisa, semua rata dengan tanah. Lagi-lagi mukjizat-Nya menampakkan diri, ada beberapa masjid yang berdiri kokoh tidak tersentuh sedikit pun dengan gelombang dahsyat itu.
Allahu Akbar… kembali kudapati keMahabesaran Ilahi.
Tidak ada jejak rembulan teduhku itu. Mendung mulai menyapa langit hatiku. Hembusan angin sepoi pantai pun memecahkan gumpalan mendung yang menebal hitam itu. Dan gerimis di pelupuk mataku mulai bergulir deras.
“Sampai kapanpun engkau tetap menjadi permata indah yang berkilau di sudut hatiku.”
Masih terngiang dengan jelas untaian kata-kata Meutia di dalam mimpiku dua minggu lalu. Dan gerimis itu sekarang telah menjadi hujan badai dalam jiwaku.
Duhai bidadari… duhai rembulan teduhku…
Tegakah engkau meninggalkanku di ujung penantian rindu?
Tak bisakah engkau menghampiriku dan menghapus kristal-kristal bening yang menggulir ini?
Tak bisakah engkau bertutur indah tentang prosesi akad nikahmu? Tak bisakah kukecup kedua pipimu nan melembut?
Tak inginkah engkau menyentuh kedua lesung pipiku yang sering kaukagumi itu?
Senja telah menyapa di pantai Meulaboh. Warna merah kekuning-kuningan di ufuk barat terlukis di bentangan cakrawala. Tidak ada warna keindahan di lukisan alam itu. Padahal, dulu semasa masih di SMU, aku dan Meutia bisa berjam-jam menatapi keindahan panorama senja. Menatapi mentari yang mulai bersembunyi sedikit demi sedikit di ujung horison sambil diselingi tukar-menukar puisi-puisi hati dan bertukar pengalaman hikmah yang terpetik hari ini.
Kualihkan pandanganku dari pemandangan senja, yang hanya mengingatkanku kepada sahabatku tercinta. Biarlah dia tetap indah di ujung sana meski di sini hatiku dirundung nestapa.
Abi menghampiri dan menggandengku. Kutatap lagi reruntuhan rumah Meutia. Aku berjanji akan kembali lagi. Sampai sang Rembulan teduh itu menampakkan diri.
Ya. Itulah janji hatiku.
***
Di tenda posko ‘Nisa’ TMU[22] Aceh, di dekat dengan Masjid Raya Baiturrahman, tidak kusangka aku berjumpa dengan Teuku Rafli temen satu SMU dulu, dia yang menjabat sebagai ketua Rohis SMU al Quds. Dan yang lebih mengejutkan lagi ternyata dialah sebenarnya suami Meutia.
Duhai rahasia apalagi yang engkau sembunyikan dariku, Cinta!
“Sungguh teganya engkau, Duhai rembulanku. Begitu rapi engkau menyimpan sejuta kisahmu,” ujarku sambil menutupi kedua wajahku yang sembab.
Ah, nampaknya hujan badai akan datang lagi. Bahkan, mungkin lebih dahsyat lagi, karena awan gelap telah mulai tampak di langit hatiku.
“Ukhti… setelah prosesi akad nikah kami senandungkan, gelombang dahsyat itu datang menghampiri kami. Dia sempat mencium tanganku dan ayah-ibunya juga ayah-ibuku,” Rafli berhenti sejenak, mencoba menguatkan hatinya untuk bisa terus bertutur.
“Sebenarnya, ana sempat memegang tangannya, tapi derasnya arus menghantamkanku ke pohon dan pegangan kami pun terlepas.”
Aku memegang erat tangan Abi. Menguatkan hatiku yang mulai retak dan hancur luluh berkeping-keping.
“Satu hal yang harus Ukhti ketahui. Meutia memang sengaja merahasiakan namaku sebagai calon suaminya ke Ukhti. Bukan maksud apa-apa, dia ingin memberi kejutan indah untukmu. Tapi qadha-Nya[23] berkata lain. Afwan,[24]sebenarnya ana kurang setuju dengan idenya ini.
Tapi ia bersikeras untuk menyimpan rahasia ini sampai Ukhti datang di acara syukuran walimahan kami. Sungguh…dia tidak bermaksud lain. Sebenarnya ana ingin acara akad dan syukurannya sewaktu, tapi karena ia ingin Ukhti bisa hadir di hari bahagia kami, karena itu dia meminta acara syukurannya ditunda sampai Ukhti selesai memasukkan skripsi Ukhti ke dosen,” Ada tetes bening bergulir di wajahnya.
***
Kukabarkan berita hilang dan belum ditemukannya tubuh Meutia ke Nadhifah yang sudah pulang ke Bandung duluan.
“Ukhti. Andai aku boleh memilih.. andai putaran waktu masih bisa diputar ulang. Ingin rasanya aku tidak pulang ke Aceh, tapi aku akan meminta pulang dilain waktu, di mana aku masih bisa bertemu dengan shahabat tercintaku. Daripada aku pulang kini, tapi hanya sepenggal kisah sendu tentang rembulan teduhku yang harus kuteguk.
Betapa mendung dan meredupnya hatiku saat ini. Andai engkau tahu… andai engkau di sini. Sekarang gerimis itu selalu bergulir meluruh dari langit hatiku.”
Balasan sms dari Nadhifah berderit
“Sahabat…semoga engkau bisa bercermin dari ayat ini: apabila ajal itu sudah datang, tidak dapat mereka (berusaha) mengundurkan atau memajukannya walaupun sesaat.[25] Semoga engkau tabah dan menerima qadha-Nya. Sesungguhnya, ini adalah badai, badai yang telah termaktub dalam Alam Malakut-Nya[26]. “Bencana yang terjadi di bumi atau atas dirimu sendiri telah tertulis di dalam Kitab sebelum Kami melaksanakannya. Sesungguhnya hal demikian itu mudah bagi Allah.[27] Sungguh! ini adalah ujian keimanan untukmu duhai sahabatku.
Semoga engkau bisa mulus melaluinya. Andai aku ada di sana… ingin kuhapus gerimis itu dengan hembusan anginku, agar menyapu mendung dan meluruhkan gerimismu. Akan kusinari lagi langit hatimu dengan kemilau cahaya mentariku agar langitmu kembali mencerah! Salam sayang!”
Hari ini aku kembali lagi ke pantai Meulaboh.
Reruntuhan rumah Meutia terlihat dari pinggir jalan yang kulalui. Besok aku harus kembali ke Bandung, karena satu minggu lagi aku akan sidang skripsi.
Kuambil kado mungil dari dalam tas.
Kuberjalan di bibir pantai yang membentang. Kulihat lagi tulisan tangan yang kuukir di atas kertas mungil biru langit. Itu warna kesukaan kami berdua.
-Untuk Sepasang Cinta yang Berbahagia-
Kala akad telah terucap
Ada harap nan diucap
Harapkan berkah Allah tercurah murah
Cinta suci dibuhul satu ikat
Ikatan suci mitsaqan ghaliza[28] sebagai perekat
Agar Allah menghamburkan berkat
Agar Allah menaburkan rahmat[29]
Kutatap kakilangit di ujung laut sana.
Kulangkahkan kakiku hingga menyentuh birunya air laut yang berbuih dihempas oleh riak-riak gelombang kecil, hingga sepatu dan kaos kakiku pun terbasahi.
Sambil kupandangi kembali gambarku dan Meutia yang sedang berpelukan mesra dan memamerkan senyuman termanis kami di profile Handphone-komunikator-ku. Gambar yang dilatari cahayawi jingga itu terrambil sebelum keberangkatanku kuliah ke Bandung dulu.
Cintaku…
Dengarlah gemuruh hatiku
Dengarlah senandung lara jiwaku
Ada segenggam rindu nan bergelayut
Ada asa nan membuncah tercacah
Ada sekeping hati teretak gelombang patah
Rekahkan senyum-mu diujung nanti
Agar rindu ini terobati
Agar pedih tertutupi
Kuletakkan kado itu di permukaan air laut yang berkecipak.
Satu embusan gelombang datang menghampirinya dan perlahan mulai menyeretnya ke tengah samudera. Berayun-ayun mengikuti irama riak gelombang.
Kupandangi ia hingga mengecil dan kemudian menghilang di tengah lautan. Sehilang satu asaku di pantai Meulaboh-ku ini.
Biarlah ia menghilang… biarlah ia mengembara… di lautan yang tak berujung. Seperti selaksa rindu yang memayungiku kini. Biarlah sekeping hatiku patah. Untuk sesosok rembulan teduh yang selalu bersinar melembut di sudut hatiku.
“Tetaplah menjadi rembulan teduh, yang selalu menerangi bumi dengan cahaya kemilaumu,”
Ya. Aku akan selalu di sini, mencahayai dan menerangi bumi seperti pintamu. Tapi tahukah engkau? Rembulan itu sekarang sungguh telah meretak. Kata-katamu akan selalu menjadi pelita hidup dan menjadi bara dalam melangkah dan menapakkan tapak dakwahku. Untaian katamu akan selalu kusenandungkan di penghujung malam. Agar rindu ini terbaluti dan terobati dengan rekahan senyum-mu di alam sana.
Akan kurajut dan kurangkai lagi serpihan-serpihan hati untuk menatap salam mentari di ufuk timur esok.
Selamat jalan cinta…
Semoga pelangi-Nya menyinarimu selalu
Semoga sinar teduhmu membersamaiku
Kurindukan engkau di ujung waktu....
Yogya-Mu, 30 Juli 2007 22.22
Di ujung tinta nan bergerimis, karya; Apu’ Indragiry
0 komentar:
Posting Komentar